MAKALAH
AKAL DAN WAHYU
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata
Kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu: Ahmad Muzakki, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Kelompok
10
Nurida
Safriyani 1704100266
Soni
Saputra 1704100178
Kurnia
Barokah Widuri 1702100296
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam
Jurusan
S1 Perbankan Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 1438 H / 2017 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna diciptakan Allah mempunyai banyak sekali kelebihan
jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk ciptaan Allah yang lainnya. Bukti
otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di
antara mahkluk yang lain adalah ayat al-Quran surat At-Tin ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”. Satu hal yang
membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir
dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga
dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya
sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal.
Dengan akal manusia
mampu memahami al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad,
dengannya juga manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa lampau.
Setelah Nabi SAW wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks.
Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul namun belum ada tuntunan
penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah untuk mengatasinya maka
muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad. Ijtihad adalah upaya yang dilakukan guna
mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad SAW dengan tujuan mengikuti
ajaran beliau di samping mengaitkan permasalahan-permasalahan baru ke dalam
kaidah yang telah disimpulkan dari al-Qur’an dan hadits Nabi. Dalam ajaran
agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui
akal dan wahyu.
Akal dan wahyu
mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Wahyu
diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarungi
lika-liku kehidupan di dunia ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Akal dan
Wahyu?
2. Bagaimana hubungan antara Akal dan
Wahyu bagi manusia?
3. Bagaimana kedudukan Akal dan Wahyu?
C.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang:
1. Pengertian Akal dan Wahyu,
2. Hubungan antara Akal dan Wahyu
bagi manusia,
3. Kedudukan Akal dan Wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akal dan Wahyu
1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti
pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Akal juga bisa berarti jalan atau cara melakukan sesuatu,
daya upaya, dan ikhtiar.[1]
Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan. Akal adalah pandangan batin yang
berdaya tembus melebihi pandangan mata. Akal adalah petunjuk yang dapat
membedakan petunjuk dan kesesatan. Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal
manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan
kepadanya. Akal adalah daya ingat, mengambil dari yang telah lampau untuk masa
yang sedang dan akan dihadapi. Ia menghimpun semua pelajaran dari apa yang
pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi.[2]
Akal adalah daya kekuatan yang
hanya dimiliki oleh manusia. Karena itu pulalah yang membedakan manusia dengan
makhluk yang lain, seperti benda-benda padat, tumbuh-tumbuhan, dan binatang
sekalipun. Akal merupakan pangkal kehidupan manusia yang menjadi sendi
kelangsungan hidupnya. Manusia melalui beberapa periode, yaitu dari bayi,
anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Dalam berpikirnya manusia tentu mengalami
tahapan-tahapan sebagaimana tersebut. Ketika tahapan manusia telah dewasa, maka
datanglah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Ajaran-ajarannya yang
berkhitab pada akal dan bukan lagi hanya dengan perasaan, karena syariat Islam
menghadapi umat manusia yang telah maju tingkat peradabannya, dan menghendaki
agama yang rasional.[3]
Menurut Al-Maturidi, mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan
akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya.[4]
Menurut Abduh, dengan akal manusia dapat:
a. Mengetahui Allah Swt. dan
sifat-sifat-Nya;
b. Mengetahui adanya hidup di
akhirat;
c. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa
di akhirat bergantung pada mengenal Allah Swt. dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Allah Swt. dan pada perbuatan
jahat;
d. Mengetahui wajibnya manusia
mengenal Allah Swt.;
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat
baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
f. Membuat hukum-hukum mengenai
kewajiban-kewajiban itu.[5]
2. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan atau
ajaran-ajaran Allah yang diberikan kepada para nabi atau Rasul-Nya untuk umatnya.[6]
Kata Wahyu berasal dari bahasa Arab وَحَى (waḥā) yang
berarti tersembunyi dan cepat. Dikatakan wahaitu
ilaihi atau auhaitu bila kita
berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah
isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaan berupa rumus dan lambing, dan
terkadang melalui suara semata, terkadang pula melalui isyarat dengan anggota
badan. Kata al-wahyu adalah bentuk masdar (infinitif), dan materi kata itu
menunjukkan dua makna dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, wahyu
adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada
orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya.
Tetapi, terkadang yang dimaksud dengan kata wahyu adalah al-muha (isim maf’ul)
yang berarti sesuatu yang diwahyukan.[7]
Secara etimologi, kata wahyu mencakup
beberapa makna yaitu:
a.
Wahyu
diartikan ilham bagi manusia, sebagaimana wahyu yang diturunkan kepada Ibu Nabi
Musa. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah Al-Qashash: 7, yang artinya:
“Dan Kami ilhamkan kepda ibu Musa;
‘susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke
sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul”.
b.
Wahyu
diartikan insting binatang, sebagaimana wahyu yang disampaikan kepada lebah. Dalam
Al-Quran surah An-Nahl: 68 Allah SWT, berfirman yang artinya:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukut-bukit, dipohon-pohon kayu, dan
ditempat-tempat yang dibikin manusia”.
c.
Wahyu
diartikan sebagai isyarat yang cepat melalui kode atau isyarat seperti isyarat
yang diberikan kepada Nabi Zakaria. Allah SWT berfirman dalam QS Maryam: 11,
yang artinya:
“Maka ia keluar dari mihrab menuju
kaumnya, lalu ia member isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di
waktu pagi dan petang”.
d.
Wahyu
diartikah bisikan jahat setan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT,
yang artinya:
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu. Dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.
(QS Al-An’am: 121)
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian
mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.
(QS Al-An’am: 112)
e.
Wahyu
diartikan menyampaikan perintah, sebagaimana perintah Allah SWT kepada malaikat
agar mereka mengerjakan perintahnya. Dalam QS Al-Anfal: 12, Allah SWT berfirman
yang artinya:
“(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan didalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”.[8]
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa
terdapat perbedaan yang cukup tajam antara wahyu, ilham, insting, dan ta’lim.
Secara sistematis perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Wahyu
adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada para nabi termasuk Al-Quran,
yaitu kalam Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat
Jibril.
b. Ilham
adalah isyarat yang cepat dan tersembunyi yang berasal dari Allah SWT kepad
manusia shalih.
c.
Insting
adalah isyarat yang cepat dan tersembunyi dari Allah kepada binatang.
d. Ta’lim
adalah proses belajar mengajar atau interaksi antara sesama manusia, dan tidak
melalui perantara malaikat.[9]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa akal adalah pemahaman terhadap sesuatu yang dapat
membedakan petunjuk dan kesesatan. Sedangkan wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat
yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui oleh orang
lain.
B.
Hubungan Antara Akal dan Wahyu
Bagi Manusia
Teologi sebagai ilmu yang membahas
soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai
daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada
diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan.[10]
Dengan demikian, wahyu menolong
akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan manusa hidup di sana, untuk
mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan
dihadapinya nanti, untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya.
Sungguhpun itu semua sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat
menerima adanya hal-hal itu. Wahyu selanjutnya menolong akal dalam mengatur
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik
manusia untuk hidup damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta
yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat.[11]
Wahyu selanjutnya membawa syariat
yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata
benar, menepati janji dan sebagainya. Namun haruslah disadari bahwa kebenaran
yang dicapai semata-mata dari akal itu adalah nasbi, relatif. Sungguhpun akal dapat mencapainya, tetapi tidak
terjamin kebenarannya. Oleh karena itulah orang-orang khawas membutuhkan konfirmasi dalam bentuk wahyu yang membawa pengetahuan yang menentramkan jiwa manusia.[12]
Dalam masalah baik dan buruk,
Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak
pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa
akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun
terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[13]
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu
dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu itu
2. Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui keburukan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[14]
Tentang mengetahui kebaikan atau
keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya
saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan
meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi
mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu
saja. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari.
Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu
sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk
karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang
buruk itu buruk karena larangan Allah.[15]
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa hubungan akal dan wahyu bagi manusia adalah Akal sebagai
daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada
diri Tuhan, dan Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Tuhan, wahyu menolong manusia untuk sampai kepada diri Tuhan.
C. Kedudukan Akal dan Wahyu
Kedudukan antara akal dan wahyu
dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak
ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal
dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat
penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka
akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai
akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan
wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya
orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan
akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.[16]
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan
Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri. Akal
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu
menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Namun dalam pemikiran Islam, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu
tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk
menentang wahyu.[17]
Mengenai kekuasaan akal dan fungsi
wahyu terdapat perbedaan di antara aliran-aliran teologi Islam,
perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
1. Bagi Mu’tazilah segala pengetahuan
dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan
sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui
akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat juga
wajib.[18]
2. Al-Asy’ari dari aliran Asy’ariah
sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah. Dalam pendapatnya
segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Hanya satu yang
dapat diketahui akal, yaitu mengetahui Tuhan.[19]
3. Aliran Maturidi Samarkand
mengatakan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan, dan
kewajiban mengetahui tuhan. Sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang
buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu.[20]
4. Aliran Maturidi Bukhara
berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya
dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi
kewajiban. Akibat pendapat ini maka mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih
kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[21]
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi (kuat) menurut
Mu’tazilah. Sedangkan Maturidi Samarkand menempatkan akal kurang tinggi (kuat)
dari Mu’tazilah, tetapi lebih tinggi (kuat) daripada Maturidi Bukhara. Di
antara semua aliran itu, Asy’ari yang memberikan kedudukan terendah terhadap
akal.
BAB III
KESIMPULAN
Akal adalah pemahaman terhadap
sesuatu yang dapat membedakan petunjuk dan kesesatan. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang
tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya. Akal menghimpun semua
pelajaran dari apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Sedangkan wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi
dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui
orang lain. Wahyu
adalah pengetahuan atau ajaran-ajaran Allah yang diberikan kepada para nabi
atau Rasul-Nya untuk umatnya.
Wahyu menolong akal untuk
mengetahui alam akhirat dan keadaan manusa hidup di sana, untuk mengetahui
sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan
dihadapinya nanti, untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya.
Sungguhpun itu semua sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat
menerima adanya hal-hal itu. Wahyu selanjutnya menolong akal dalam mengatur
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik
manusia untuk hidup damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta
yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat.
Kedudukan antara akal dan wahyu
dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak
ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal
dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat
penyeimbang.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal, diakses tanggal 30 September 2017.
Chirzin, Muhammad. Kearifan Al-Qur'an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
dan Perbandingan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia, 2001.
Anshori. Ulumul Qur’an: Kaidah-Kaidah
Memahami Firman Tuhan. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Walisongo, Asaku. Kedudukan Wahyu Dan Akal
Dalam Islam. http://www.contoh
lengkap.com/2012/02/kedudukan-wahyu-dan-akal-dalam-islam.html. diakses tanggal
01 Oktober 2017.
[2] Muhammad Chirzin, Kearifan
Al-Qur'an, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2011), h.96
[3] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h.309
[4] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h.125
[5] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, Op.Cit., h.310
[6] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), h.68
[7] Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h.46
[8] Ibid., h.46-47
[9] Ibid., h.49
[10] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah
Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), h.81
[11] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h.311
[12] Ibid.,
[13] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Op.Cit., h.125
[14] Ibid., h.126
[15] Ibid., h.126
[16] Asaku Walisongo, Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam,
http://www.contoh lengkap.com/2012/02/kedudukan-wahyu-dan-akal-dalam-islam.html,
diakses tanggal 01 Oktober 2017.
[17] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h.242
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.Cit., h.83
[19] Ibid.,
[20] Ibid., h.91
[21] Ibid., h.92
Lucky Club Online Casino Site 2021 - LuckyClub
ReplyDeleteLucky Club Online Casino is one of the most reputable and respected casinos in luckyclub the gambling industry. The Lucky Club is the choice of thousands of online players