Monday, February 19, 2018

AKAL DAN WAHYU


MAKALAH
AKAL DAN WAHYU
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Ahmad Muzakki, M.Pd.I




Disusun Oleh:
Kelompok 10
                Nurida Safriyani             1704100266
                Soni Saputra                   1704100178
                Kurnia Barokah Widuri  1702100296

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Jurusan S1 Perbankan Syariah

  
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 1438 H / 2017 M

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Allah mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk ciptaan Allah yang lainnya. Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara mahkluk yang lain adalah ayat al-Quran surat At-Tin ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”. Satu hal yang membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal.

Dengan akal manusia mampu memahami al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad, dengannya juga manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa lampau. Setelah Nabi SAW wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul namun belum ada tuntunan penyelesaiannya baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah untuk mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni Ijtihad. Ijtihad adalah upaya yang dilakukan guna mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad SAW dengan tujuan mengikuti ajaran beliau di samping mengaitkan permasalahan-permasalahan baru ke dalam kaidah yang telah disimpulkan dari al-Qur’an dan hadits Nabi. Dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui akal dan wahyu.
Akal dan wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Wahyu diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarungi lika-liku kehidupan di dunia ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan Akal dan Wahyu?
2.      Bagaimana hubungan antara Akal dan Wahyu bagi manusia?
3.      Bagaimana kedudukan Akal dan Wahyu?
C.    Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang:
1.      Pengertian Akal dan Wahyu,
2.      Hubungan antara Akal dan Wahyu bagi manusia,
3.      Kedudukan Akal dan Wahyu.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akal dan Wahyu
1.      Akal
Akal berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Akal juga bisa berarti jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, dan ikhtiar.[1] Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan. Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi pandangan mata. Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan petunjuk dan kesesatan. Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya. Akal adalah daya ingat, mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang sedang dan akan dihadapi. Ia menghimpun semua pelajaran dari apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi.[2]
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Karena itu pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain, seperti benda-benda padat, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sekalipun. Akal merupakan pangkal kehidupan manusia yang menjadi sendi kelangsungan hidupnya. Manusia melalui beberapa periode, yaitu dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Dalam berpikirnya manusia tentu mengalami tahapan-tahapan sebagaimana tersebut. Ketika tahapan manusia telah dewasa, maka datanglah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Ajaran-ajarannya yang berkhitab pada akal dan bukan lagi hanya dengan perasaan, karena syariat Islam menghadapi umat manusia yang telah maju tingkat peradabannya, dan menghendaki agama yang rasional.[3]
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya.[4] Menurut Abduh, dengan akal manusia dapat:
a.       Mengetahui Allah Swt. dan sifat-sifat-Nya;
b.      Mengetahui adanya hidup di akhirat;
c.       Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Allah Swt. dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Allah Swt. dan pada perbuatan jahat;
d.      Mengetahui wajibnya manusia mengenal Allah Swt.;
e.       Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
f.       Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.[5]
2.      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan atau ajaran-ajaran Allah yang diberikan kepada para nabi atau Rasul-Nya untuk umatnya.[6] Kata Wahyu berasal dari bahasa Arab وَحَى (waḥā) yang berarti tersembunyi dan cepat. Dikatakan wahaitu ilaihi atau auhaitu bila kita berbicara kepada seseorang agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaan berupa rumus dan lambing, dan terkadang melalui suara semata, terkadang pula melalui isyarat dengan anggota badan. Kata al-wahyu adalah bentuk masdar (infinitif), dan materi kata itu menunjukkan dua makna dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi, terkadang yang dimaksud dengan kata wahyu adalah al-muha (isim maf’ul) yang berarti sesuatu yang diwahyukan.[7]
Secara etimologi, kata wahyu mencakup beberapa makna yaitu:
a.       Wahyu diartikan ilham bagi manusia, sebagaimana wahyu yang diturunkan kepada Ibu Nabi Musa. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah Al-Qashash: 7, yang artinya:
Dan Kami ilhamkan kepda ibu Musa; ‘susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”.
b.      Wahyu diartikan insting binatang, sebagaimana wahyu yang disampaikan kepada lebah. Dalam Al-Quran surah An-Nahl: 68 Allah SWT, berfirman yang artinya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukut-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”.
c.       Wahyu diartikan sebagai isyarat yang cepat melalui kode atau isyarat seperti isyarat yang diberikan kepada Nabi Zakaria. Allah SWT berfirman dalam QS Maryam: 11, yang artinya:
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia member isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”.
d.      Wahyu diartikah bisikan jahat setan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS Al-An’am: 121)
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari  jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”. (QS Al-An’am: 112)
e.       Wahyu diartikan menyampaikan perintah, sebagaimana perintah Allah SWT kepada malaikat agar mereka mengerjakan perintahnya. Dalam QS Al-Anfal: 12, Allah SWT berfirman yang artinya:
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan didalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”.[8]
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup tajam antara wahyu, ilham, insting, dan ta’lim. Secara sistematis perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.     Wahyu adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada para nabi termasuk Al-Quran, yaitu kalam Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.
b.   Ilham adalah isyarat yang cepat dan tersembunyi yang berasal dari Allah SWT kepad manusia shalih.
c.       Insting adalah isyarat yang cepat dan tersembunyi dari Allah kepada binatang.
d.   Ta’lim adalah proses belajar mengajar atau interaksi antara sesama manusia, dan tidak melalui perantara malaikat.[9]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa akal adalah pemahaman terhadap sesuatu yang dapat membedakan petunjuk dan kesesatan. Sedangkan wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui oleh orang lain.
B.     Hubungan Antara Akal dan Wahyu Bagi Manusia
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[10]
Dengan demikian, wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan manusa hidup di sana, untuk mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya nanti, untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya. Sungguhpun itu semua sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu. Wahyu selanjutnya menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik manusia untuk hidup damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat.[11]
Wahyu selanjutnya membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji dan sebagainya. Namun haruslah disadari bahwa kebenaran yang dicapai semata-mata dari akal itu adalah nasbi, relatif. Sungguhpun akal dapat mencapainya, tetapi tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itulah orang-orang khawas membutuhkan konfirmasi dalam bentuk wahyu yang membawa pengetahuan yang menentramkan jiwa manusia.[12]
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[13]
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[14]
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah.[15]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hubungan akal dan wahyu bagi manusia adalah Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, wahyu menolong manusia untuk sampai kepada diri Tuhan.
C.    Kedudukan Akal dan Wahyu
Kedudukan antara akal dan wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.[16]
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Namun dalam pemikiran Islam, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.[17]
Mengenai kekuasaan akal dan fungsi wahyu terdapat perbedaan di antara aliran-aliran teologi Islam, perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
1.      Bagi Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat juga wajib.[18]
2.  Al-Asy’ari dari aliran Asy’ariah sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Hanya satu yang dapat diketahui akal, yaitu mengetahui Tuhan.[19]
3.  Aliran Maturidi Samarkand mengatakan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan, dan kewajiban mengetahui tuhan. Sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu.[20]
4.   Aliran Maturidi Bukhara berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat pendapat ini maka mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[21]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi (kuat) menurut Mu’tazilah. Sedangkan Maturidi Samarkand menempatkan akal kurang tinggi (kuat) dari Mu’tazilah, tetapi lebih tinggi (kuat) daripada Maturidi Bukhara. Di antara semua aliran itu, Asy’ari yang memberikan kedudukan terendah terhadap akal.


BAB III
KESIMPULAN
Akal adalah pemahaman terhadap sesuatu yang dapat membedakan petunjuk dan kesesatan. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya. Akal menghimpun semua pelajaran dari apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Sedangkan wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Wahyu adalah pengetahuan atau ajaran-ajaran Allah yang diberikan kepada para nabi atau Rasul-Nya untuk umatnya.
Wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan manusa hidup di sana, untuk mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya nanti, untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya. Sungguhpun itu semua sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu. Wahyu selanjutnya menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik manusia untuk hidup damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat.
Kedudukan antara akal dan wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang.



DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal, diakses tanggal 30 September 2017.
Chirzin, Muhammad. Kearifan Al-Qur'an. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Anshori. Ulumul Qur’an: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Walisongo, Asaku. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam. http://www.contoh lengkap.com/2012/02/kedudukan-wahyu-dan-akal-dalam-islam.html. diakses tanggal 01 Oktober 2017.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Akal, diakses tanggal 30 September 2017.
[2] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur'an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h.96
[3] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.309
[4] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.125
[5] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, Op.Cit., h.310
[6] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.68
[7] Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.46
[8] Ibid., h.46-47
[9] Ibid., h.49
[10] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), h.81
[11] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h.311
[12] Ibid.,
[13] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Op.Cit., h.125
[14] Ibid., h.126
[15] Ibid., h.126
[16] Asaku Walisongo, Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam, http://www.contoh lengkap.com/2012/02/kedudukan-wahyu-dan-akal-dalam-islam.html, diakses tanggal 01 Oktober 2017.
[17] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h.242
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.Cit., h.83
[19] Ibid.,
[20] Ibid., h.91
[21] Ibid., h.92

1 comment:

  1. Lucky Club Online Casino Site 2021 - LuckyClub
    Lucky Club Online Casino is one of the most reputable and respected casinos in luckyclub the gambling industry. The Lucky Club is the choice of thousands of online players

    ReplyDelete