MAKALAH
PENYIMPANGAN
PADA PASAR MODAL KONVENSIONAL
Ditujukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pasar Modal Syariah
Disusun Oleh:
Nurida Safriyani
1704100266
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Jurusan S-1 Perbankan Syariah
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 1438 H / 2017 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hampir seluruh negara di dunia ini
memiliki pasar modal (capital market)
kecuali bagi negara-negara yang masih berbenah dan belum mampu melepaskan diri
dari persoalan ekonomi dan polotik yang begitu parah. Keberadaan pasar modal di
suatu negara bisa menjadi acuan untuk melihat tentang bagaimana kegairahan atau
dinamisnya bisnis negara yang bersangkutan dalam menggerakkan berbagai
kebijakan ekonominya.
Pasar modal merupakan salah satu alternatif sumber
pendanaan bagi perusahaan sekaligus sebagai sarana investasi bagi para pemodal.
Implementasi dari hal tersebut adalah perusahaan dapat memperoleh pendanaan
melalui penerbitan efek yang bersifat ekuitas atau surat utang. Pada sisi lain,
pemodal juga dapat melakukan investasi di pasar modal dengan membeli efek-efek
tersebut.
Di Indonesia pasar modal menjadi salah satu elemen
penting dalam laju perekonomian negara ini. Pasar modal pun menjadi tempat
investasi yang sangat diminati oleh berbagai kalangan, terutama kalangan
menengah keatas. Hal ini dikarenakan segala efisiensi sistem transaksi dan atau
sistem investasi di pasar modal. Akan tetapi pada prakteknya, terlalu banyak
hal yang dapat mengubah kemurnian mekanisme transaksi pasar modal, yang membuat
para investor muslim merasakan keragu-raguan dalam hal keabsahan segala
mekanisme transaksi yang terjadi di pasar modal.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah
dalam makalah ini yaitu “Penyimpangan apa saja yang terjadi pada pasar modal
konvensional”
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami penyimpangan yang terjadi pada pasar modal konvensional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Emiten Memproduksi Barang Haram
Dalam
Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, telah dijelaskan bahwa kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip
syariah di pasar modal, antara lain meliputi:
1. Perjudian dan permainan yang
tergolong judi
2. Perdagangan yang dilarang menurut
syariah, antara lain:
a. Perdagangan yang tidak disertai
dengan penyerahan barang/jasa, dan
b. Perdagangan dengan
penawaran/permintaan palsu.
3. Jasa keuangan ribawi, antara lain:
a. Bank berbasis bunga, dan
b. Perusahaan pembiayaan berbasis
bunga.
4. Jual beli risiko yang mengandung
unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maysir), antara lain
asuransi konvensional
5. Memproduksi, mendistribusikan,
memperdagangkan dan/atau menyediakan antara lain:
a. Barang atau jasa haram zatnya
b. Barang atau jasa haram bukan karena
zatnya yang ditetapkan oleh DSN-MUI
c. Barang atau jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.
6. Melakukan transaksi yang
mengandung unsur suap (risywah).[1]
Ketentuan
tersebut berlaku bagi emiten agar terbentuk pasar modal yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dengan terpenuhinya empat aspek, yaitu:
1. Emiten dan efek yang
diterbitkannya memenuhi kaidah keadilan, kehati-hatian, dan transparansi;
2. Infrastruktur informasi bursa efek
yang transparan dan tepat waktu yang merata di publik yang ditunjang oleh
mekanisme pasar yang wajar;
3. Pengawasan dan penegakan hukum
oleh otoritas pasar modal dapat diselenggarakan secara efektif.[2]
Emiten
yang memproduksi barang haram zatnya yaitu saham yang diperjualbelikan
merupakan saham perusahaan yang memproduksi atau memperdagangkan barang atau
jasa yang tidak halal (contohnya babi, minuman keras/alkohol, darah, bangkai,
perjudian, lembaga keuangan konvensional dan hiburan). Di Indonesia lembaga
keuangan konvensional masih ada dan menawarkan atau menjual efek kepada masyarakat.
Karena dalam pasar modal konvensional tidak ada ketentuan tentang larangan
perusahaan menjual barang atau jasa yang haram. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal disebutkan bahwa perusahaan yang dapat melakukan penawaran
umum hanyalah emiten yang telah menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada
Bapepam untuk menawarkan atau menjual efek kepada masyarakat dan pernyataan
pendaftaran tersebut telah efektif.[3]
Hal ini berarti perusahaan yang memproduksi barang harampun dapat menjual efek
pada pasar modal.
B. Penyimpangan Transaksi Pada Pasar Modal Konvensional
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor
40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip
Syariah di Bidang Pasar Modal terdapat penjelasan atau peraturan tentang
transaksi yang dilarang menurut syariah, berikut ini isi dari pasal 5 tentang transaksi yang
dilarang, yaitu:
1. Pelaksanaan transaksi harus
dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan
spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba,
maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.
2. Transaksi yang mengandung unsur dharar,
gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud
ayat 1 di atas meliputi:
a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu
b. Bai’al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas
barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling)
c. Insider Trading, yaitu memakai informasi orang
dalam memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang
d. Menimbulkan informasi yang
menyesatkan
e. Margin trading, yatu melakukan transaksi atas
efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban
penyelesaian pembelian efek syariah tersebut
f. Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan
pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan
harga efek syariah, dengan tujuan memengaruhi pihak lain
g. Transaksi lain yang mengandung
unsur-unsur diatas.[4]
Meskipun
sudah ada peraturan tersebut, pada pasar modal konvensional tetap terdapat
transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Berikut ini penyimpangan
transaksi yang terjadi pada pasar modal konvensional:
1. Menjual Sekuritas Belum Dimiliki (Short Selling)
Short Selling adalah transaksi
penjualan efek yang tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi
dilaksanakan.[5]
Bisa juga diartikan sebagai penjualan saham yang dimiliki penjual short,
saham yang dijual secara short tersebut diperoleh dengan meminjam dari pihak
ketiga. Penjual short meminjam saham dengan harapan membeli saham tersebut
nantinya pada harga yang rendah dan secara simultan mengembalikan saham yang
dipinjam, juga memperoleh keuntungan atas penurunan harganya. Transaksi ini
dilarang dalam Islam karena memiliki unsur-unsur yang bersifat spekulatif dan
penipuan.[6]
Sistem short selling masih banyak dilakukan
oleh para pelaku pasar untuk meraih keuntungan jangka pendek. Dengan
menggunakan sistem ini pelaku pasar memperoleh keuntungan dengan cara meminjam
efek kepada broker atau pemiliknya kemudian langsung dijual pada saat itu juga
dengan harapan harga akan turun. Apabila harga turun, investor membelinya untuk
dikembalikan kepada broker (pemilik efek). Apabila harga naik, pihak broker
atau pemilik efek akan untung. Sebaliknya, apabila harga turun pihak broker
atau pemilik efek mengalami kerugian, dan peminjam efek mendapat keuntungan.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Islam bahwa setiap transaksi yang terjadi
tidak boleh merugikan salah satu pihak.[7]
Model short selling merupakan praktik
investasi yang hasilnya menang kalah. Islam memandang aktivitas bisnis seperti
ini sebagai judi karena mengandung spekulasi. Sistem short selling juga mengandung praktik riba karena pengembalian pinjaman tidak senilai pada saat
meminjamnya. Islam melarang jual beli yang dapat merusak atau mengganggu
stabilitas pasar karena akan mengakibatkan gejolak pasar yang tidak
mencerminkan kondisi perekonomian yang benar di masyarakat.[8]
Contoh/ilustrasi transaksi short selling:
Investor A tidak memiliki saham X. Namun investor A
berspekluasi harga saham X akan turun. Investor A kemudian melakukan kontrak
peminjaman saham X dengan sekuritas atau institusi lainnya. Investor A
memperoleh pinjaman saham X sebanyak 100 lot. Ia kemudian memasang posisi jual
saham X yang dipinjamnya sebanyak 100 lot itu pada harga 1000. Kemudian saham
tersebut dibeli oleh investor B. Jika 1 lot=500 lembar saham, maka hasil dari
penjualan saham X tersebut investor A akan memperoleh 50.000.000. Saham X yang
dipinjam investor A dari sekuritas itu berpindah ke investor B.
Namun, karena investor memiliki hutang saham X sebanyak
100 lot pada sekuritas, maka investor A harus segera mencari saham X di pasar
sebanyak 100 lot untuk melunasi kewajibannya. Agar mendapatkan untung, investor
A harus memasang posisi beli pada harga di bawah harga jual sebesar 1000, ia
memasang posisi beli daham X sebanyak 100 lot di harga 500. Kemudian investor C
bersedia menjual 100 lot saham X miliknya di harga 500 kepada investor A.
Alhasil, investor A kembali memiliki 100 lot saham X yang
dibelinya dengan total nilai 100 lot (50.000 saham) dikali 500 sama dengan
25.000.000. Dengan demikian, investor A mendapat untung 25.000.000 yang
diperoleh dari penjualan saham X pinjaman senilai 50.000.000 dikurangi ongkos
pembelian kembali saham X senilai 25.000.000.
Investor A kemudian mengembalikan 100 lot saham X yang
dipinjamnya ke sekuritas dan semua beres. Tanpa modal saham X, investor A bisa
memperoleh untung 25.000.000.[9]
Meskipun begitu, investor A juga harus siap menghadapi
resiko yang mungkin timbul apabila harga saham tersebut bukannya menjadi lebih
rendah (turun), tetapi justru naik, misalnya menjadi 1500. Apabila ini yang
terjadi, ia harus menanggung kerugian sebesar 500 dikalikan jumlah lembar saham
yang ia jual.[10]
Terdapat beberapa
dampak akibat transaksi short selling, diantaranya:
a. Dampak yang telah terjadi di pasar modal
konvensional adalah jatuhnya IHSG selama dua pekan pertama September 2008 dan
ditutupnya fasilitas ini pada 6 Oktober 2008.
b.
Munculnya naked short selling, transaksi ini sulit dideteksi keberadaannya
dan biasanya dilakukan oleh para spekulan yang ingin cepat kaya dan mendapat
keuntungan sebesar-besarnya meskipun dengan cara manipulatif.
c. Transaksi ini merusak moral masyarakat
dalam berinvestasi, karena transaksi ini menghasilkan keuntungan yang besar
maka para spekulan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan sisi etika
dalam berbisnis sampai melakukan tindakan manipulatif agar dia mendapatkan
keuntungan yang besar bukan kerugian.[11]
Berdasarkan penjelasan di
atas dapat diketahui bahwa short selling dilarang oleh syariat Islam dan memiliki
dampak yang negatif bagi pasar modal.
2. Tadlis, Gharar,
Ribawi
Tadlis
(penipuan)
yaitu transaksi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang
diketahui pihak lain. Tadlis dapat
terjadi dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.[12]
Gharar adalah setiap transaksi yang
berpotensi merugikan salah satu pihak karena mengandung unsur ketidakjelasan,
manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan
akad.[13] Ribawi yaitu segala sesuatu yang
mengandung unsur riba.[14]
Berikut ini transaksi-transaksi yang memiliki unsur Tadlis, Gharar, dan Ribawi:
a. Manipulasi pasar
Manipulasi pasar adalah kegiatan untuk menciptakan
gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar
atau harga efek di bursa efek atau memberi pernyataan atau keterangan yang
tidak benar atau menyesatkan, sehingga harga efek di bursa terpengaruhi.
Transaksi yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan atau penawaran jual
atau beli efek pada harga tertentu di mana pihak tersebut juga telah
berkerjasama dengan pihak lain yang melakukan penawaran beli atau jual efek
yang sama pada harga yang lebih kurang sama. Motif adalah untuk meningkatkan,
menurunkan atau mempertahankan harga efek.Jika manipulasi pasar terjadi, maka
pasar akan termanipulasi sehinga mengakibatkan harga saham menjadi semu.[15]
Berikut ini adalah beberapa pola manipulasi
pasar:
1) Menyebarluaskan informasi palsu
mengenai emiten dengan tujuan untuk mempengaruhi harga efek perusahaan yang
dimaksud pada bursa efek (false information). Misalnya: suatu pihak
menyebarkan rumor bahwa emiten A akan segera dilikuidasi, pasar merespon yang
menyebabkan harga efeknya jatuh tajam di bursa.
2) Menyebarluaskan informasi yang
menyesatkan atau informasi yang tidak lengkap (misinformation).
Misalnya: suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A tidak termasuk
perusahaan yang akan dilikuidasi oleh pemerintah, padahal emiten A termasuk
yang diambil alih oleh pemerintah.
3) Kegiatan transaksi yang bertujuan
untuk memberikan kesan bahwa efek perusahaan tertentu aktif diperdagangkan (wash
trading). Pola ini dipergunakan sebagai sarana untuk memodifikasi (biasanya
menaikkan) harga efek pada level tertentu yang diinginkan pelaku. Misalnya:
Direksi emiten A memerintahkan seseorang untuk melakukan pembelian dan
penjualan sekaligus, agar efek perusahaannya dianggap likuid. Dalam transaksi tersebut
tidak ada perubahan kepemilikan secara absolut, karena skenario telah disusun
oleh pihak-pihak yang terlibat.[16]
Agar terbentuk pasar modal yang ideal diperlukan adanya
infrastruktur informasi bursa efek yang transparan, tepat waktu dan merata di
publik, yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar. Mekanisme pasar tidak
boleh menimbulkan kondisi keraguan yang dapat menyebabkan kerugian. Mekanisme
bursa efek yang wajar juga menyangkut kewajaran permintaan dan penawaran.[17]
b.
Insider Trading
Insider Trading adalah suatu
praktik yang dilakukan oleh orang dalam perusahaan (coorporate insider)
melakukan perdagangan saham dengan menggunakan informasi yang mengandung fakta
materiil yang dimiliki sedangkan informasi itu belum terbuka (tersedia) untuk
umum (inside public information).[18]
Sebenarnya larangan mengenai insider
trading telah diatur dalam UU Pasar Modal Bab XI yang mengatur mengenai
Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Aturan mengenai
perdagangan orang dalam diatur dalam pasal 95 sampai pasal 99. Dalam penjelasan
pasal 95 UUPM dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang dalam” adalah:
1) Komisaris, direktur, atau pegawai
emiten atau perusahaan publik;
2) Pemegang saham utama emiten atau
perusahaan publik;
3) Orang perseorangan yang karena
kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau
perusahaan publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam;
atau
4) Pihak dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b
atau huruf c diatas.[19]
Secara teknis, pelaku perdagangan orang dalam dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Pihak yang mengemban kepercayaan
secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan publik atau
disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position.
2) Pihak yang menerima informasi
orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan Tippees.[20]
Contoh praktik insider trading adalah sebagai berikut:
Tanggal 1-30 Januari 2003 PT X
akan bermaksud untuk mengakuisisi PT Y. Untuk keperluan tersebut PT X menunjuk
Mr. A, Mr. B, Mr. C dan Mr. D masing-masing sebagai konsultan Hukum, Notaris,
Akuntan, dan Penilai dengan tugas antara lain menilai kelayakan ekonomis PT Y.
Selain itu, Mr. A dan Mr. B merupakan pemegang saham PT X. Hasil penilaian
tersebut menunjukkan bahwa akuisisi terhadap PT Y akan dapat meningkatkan
kinerja PT X. Meningkatnya kinerja perusahaan dapat mengakibatkan naiknya harga
saham PT X. Harga saham PT X di Bursa Efek Rp. 2.000. Mr. A dan Mr. B melakukan
pembelian saham PT X dalam jumlah besar pada harga Rp. 2000. Tanggal 31 Januari
2003 dilakukan pengumuman kepada masyarakat tentang rencana akuisisi serta
prospek positif PT X setelah akuisisi. Tanggal 31 Januari-10 Februari 2003
harga saham PT X naik secara dramatis menjadi Rp. 5000 karena pemodal melihat
prospek PT X di masa yang akan datang.
Keterangan:
Mr. A, Mr. B, Mr. C, dan Mr. D merupakan
orang dalam sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 UUPM. Rencana akuisisi dan
serta hasil penilaian atas kelayakan ekonomis
atas akuisisi tersebut merupakan informasi orang dalam karena belum diumumkan
kepada publik. Perdagangan saham yang dilakukan oleh Mr. A dan Mr. B merupakan
perdagangan dengan memanfaatkan informasi orang dalam, sehingga mereka
melanggar UUPM dan syariat Islam yaitu melakukan transaksi riba sekaligus
zhalim. Pemegang saham yang menjual sahamnya kepada Mr. A dan Mr. B mengalami
kerugian dengan naiknya harga saham PT X setelah diumumkannya informasi orang
dalam tersebut.[21]
c. Transaksi Margin Trading
Margin Trading adalah transaksi pembelian efek untuk kepentingan nasabah yang dibiayai
oleh perusahaan efek.[22] Margin
trading merupakan sistem perdagangan yang umum dipraktikkan dalam sistem
perdagangan (investasi) di bursa efek. Sistem ini dianggap dapat meningkatkan
likuiditas dan gairah perdagangan di lantai bursa, karena investor dalam
melakukan transaksi pembelian (investasi) hanya membayar sebagian dari total
transaksinya, sedangkan sisanya dipinjami oleh perusahaan pialang anggota
bursa.[23]
d. Preferred Stock
Preferred Stock (saham istimewa)
adalah saham dengan hak istimewa menurut ketentuan dalam anggaran dasar,
misalnya berupa prioritas terhadap deviden yang besarnya deviden diberikan
dalam jumlah tetap berupa persentase dari nilai nominal yang tertera pada
sertifikat saham, atau penentuan pengurus, dan sisa harta saat terjadi
likuidasi. Saham istimewa ini di haramkan oleh ketentuan syariah karena
terdapat dua karakteristik utama, yaitu:
a. Adanya
keuntungan tetap (pre-determinant revenue). Hal ini menurut kalangan
ulama dikategorikan sebagai riba.
b. Pemilik
saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat likuidasi. Hal ini
mengandung unsur ketidakadilan.[24]
e. Option
Option merupakan hak yaitu untuk membeli dan menjual barang yang tidak disertai dengan underlying
asset atau real asset. Transaksi option ini bersifat tidak
ada (non exist) dan dinilai oleh kalangan ulama bahwa kontrak option ini
termasuk future, yaitu mengandung unsur gharar (penipuan/spekulasi)
dan maysir (judi).[25]
f. Forward Contract
Forward Contract (kontrak
berjangka) adalah penjualan-pembelian jumlah tertentu dari barang, surat
berharga pemerintah, mata uang asing atau instrumen keuangan lainnya, dengan
harga yang ditetapkan saat ini dan penyerahan serta penyelesaian pada tanggal
tertentu pada masa datang. Hal ini diharamkan karena segala bentuk jual beli
utang (dayn bi dayn) tidak sesuai dengan syariah. Bentuk kontrak forward
ini dilarang dalam Islam karena dianggap jual beli utang atau piutang yang
terdapat unsur ribawi, sedangkan terjadinya transaksi jual beli dilakukan
sebelum tanggal jatuh tempo.[26]
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa masih banyak transaksi pada pasar modal konvensional yang
menyimpang dari prinsip syariah, contohnya transaksi yang sulit untuk
dihilangkan yaitu transaksi insider trading, karena insider trading ini sulit
untuk di telusuri/dideteksi.
3. Rekayasa Permintaan dan Penawaran
Memanipulasi harga aset melalui
permainan permintaan-demand (bay’ Najasy) dan penawaran-supply (ihtikar).
Najasy adalah penawaran atas sesuatu barang yang dilakukan bukan karena
motif untuk membeli, tetapi hanya bermotifkan agar pihak lain berani membelinya
dengan harga tinggi.[27]
Sedangkan Ihtikar (penimbunan) adalah melakukan pembelian atau dan
pengumpulan suatu efek untuk menyebabkan perubahan harga efek, dengan tujuan
memengaruhi pihak lain.[28]
Yang dimaksud dengan manipulasi
permintaan adalah suatu usaha sistematik untuk mengambil keuntungan di atas
keuntungan wajar (abnormal return) melalui rekayasa permintaan (demand)
agar harga “terlihat” lebih tinggi (overvalued) dari yang seharusnya (pay
off). Begitu pula sebaliknya, manipulasi harga untuk menjatuhkan nilai aset
tertentu di bawah harga wajarnya (undervalued) melalui rekayasa
penawaran fiktif yang sistematis agar dapat berinvestasi dengan biaya yang
lebih rendah dari seharusnya. Praktik semacam ini marak terjadi di pasar modal
melalui aksi “goreng-menggoreng” saham sehingga harga saham cenderung mengalami
mispricing akibat aktivitas trading yang overreaction dan pada umumnya memakan
korban atau merugikan pihak uninformed.[29]
Berdasarkan penjelasan tersebut
dapat diketahui bahwa rekayasa permintaan dan penawaran adalah penipuan harga
saham yang bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk membeli saham dan
mengambil keuntungan dari pihak yang membeli tersebut. Transaksi ini merupakan
transaksi yang dilarang oleh Islam karena mengandung unsur penipuan (tadlis) dan riba.
Keberhasilan pasar modal memang
membawa sisi positif bagi perekonomian suatu negara. Namun sebagai negara
muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya merupakan negara yang kondusif dalam mengembangkan pasar modal berprinsip
syariah. Berkembangnya efek syariah saat ini, tentunya menjadi peluang besar
untuk meningkatkan pasar modal syariah tidak hanya dari sisi produk saja. Namun
harus didukung dengan sistem perdagangan yang sudah menerapkan prinsip syariah
secara keseluruhan. Salah satunya dengan dipisahkannya bursa efek konvensional
dengan efek syariah. Sehingga pelanggaran-pelanggaran transaksi tidak akan
terjadi dan pasar modal syariah dapat menerapkan ajaran Islam secara kaffah.
Sebagai investor muslim juga
hendaknya memilah-milah kembali jika ingin berinvestasi di pasar modal.
Investor muslim membeli dan menjual saham harus sesuai dengan ketentuan dan
prinsip syariah yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
pasar modal syariah, emiten/perusahaan yang menjual saham dilarang memproduksi
barang Haram. Namun pada kenyataannya masih terdapat perushaan-perusahaan yang
memproduksi barang yang haram. Sedangkan dalam transaksi pasar modal terdapat
beberapa larangan oleh syariah, diantaranya transaksi yang mengandung riba,
transaksi yang mengandung gharar
(ketidakjelasan), dan transaksi yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Yang
termasuk dalam unsur penipuan diantaranya melakukan penawaran palsu (najasy), transaksi atas barang yang
belum dimiliki (short selling),
pembelian untuk menimbun efek (ihtikar),
serta menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang
dalam untuk memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut.
Untuk mengantisipasi hal
tersebut Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
mengeluarkan fatwa yang didalamnya terdapat penjelasan transaksi-transaksi yang
dilarang menurut syariat dalam pasar modal, namun hal ini tidak serta merta
dapat menghilangkan penyimpangan dalam pasar modal konvensional, karena pada
kenyataannya masih ada penyimpangan yang terjadi pada pasar modal konvensional
yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah.
B.
Saran
1.
Sebagai umat Islam kita sudah
seharusnya untuk selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi muamalah baik
dalam pasar modal maupun dalam transaksi muamalah lainnya,
2.
Sebaiknya ada pemisahanan
antara pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Bilqis Annisa Firdaus, Analisis Larangan Transaksi Short
Selling Pada Pasar Modal Syariah Serta Dampak Negatif Yang Ditimbulkan Dalam
Pasar Modal Konvensional, 9 September 2017
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NOMOR: 40/DSN-MUI/X/2003
Tentang PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL,
Pasal 5, 02 September 2017
Hidayat, Taufik. Buku Pintar Investasi Syariah. Jakarta:
Mediakita, 2011.
https://m.detik.com/finance/portofolio/1126909/seluk-beluk-transaksi-short-selling,
9 September 2017
https://www.yarsi.ac.id/in/web-directory/kolom-dosen/70-fakultas-ekonomi/251-modal-syariah.html
Komunitas Ekonomi Syariah. Kamus Istilah Perbankan Asuransi dan Pasar
Modal Syariah Plus Zakat. Jakarta: Shahih, 2016.
Muhamad Nafik Hadi Ryandono, Sistem Margin Trading dan Strategi
dalam Menutup Sisa Margin pada Perdagangan Saham di Bursa Efek: Perspektif Fiqh Muamalah, jurnal.usu.ac.id,
02 September 2017.
Nasarudin, M. Irsan dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar
Modal Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti. Hukum Pasar
Modal di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Umam, Khaerul. Pasar Modal Syariah. Bandung: Pustaka Setia,
2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal, Pasal 70, www.ojk.go.id, 9 September 2017
Yuliana, Indah. Investasi Produk Keuangan Syariah.
Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
[1] Khaerul Umam, Pasar Modal
Syairah, h.98
[2] Ibid.,
[3] Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Pasal 70, www.ojk.go.id, 9 September
2017
[4] FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NOMOR: 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP
SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL, Pasal 5, 02 September 2017
[5] Khaerul Umam, Pasar Modal,
Op.Cit., h.81
[6] Indah Yuliana, Investasi Produk Keuangan Syariah, h.50
[7] Bilqis Annisa Firdaus, Analisis Larangan Transaksi Short Selling
Pada Pasar Modal Syariah Serta Dampak Negatif Yang Ditimbulkan Dalam Pasar
Modal Konvensional, 9 September 2017, h.10
[8] Ibid.,
[9]
https://m.detik.com/finance/portofolio/1126909/seluk-beluk-transaksi-short-selling,
9 September 2017
[10] Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah, h.33
[11] Bilqis Annisa Firdaus, Analisis Larangan, h.20
[12] Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, h.829
[13] Ibid., h.102
[14] Ibid., h.734
[17] Khaerul Umam, Pasar Modal,
Op.Cit., h.96
[18] Tavinayati dan Yulia
Qamariyanti, Hukum Pasar, Op.Cit., h.79
[19] Ibid.,
[20] Ibid., h.82
[21] M. Irsan Nasarudin dan Indra
Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia,
h.269-270
[22] Khaerul Umam, Pasar Modal,
Op.Cit., h.81
[23] Muhamad Nafik Hadi Ryandono, Sistem
Margin Trading dan Strategi dalam
Menutup Sisa Margin pada Perdagangan Saham
di Bursa Efek: Perspektif Fiqh Muamalah, jurnal.usu.ac.id, 02
September 2017.
[24] Indah Yuliana, Investasi Produk, Op.Cit., h.49
[25] Ibid., h.50
[26] Ibid., h.49
[27] Komunitas Ekonomi Syariah, Kamus
Istilah Perbankan Asuransi dan Pasar Modal Syariah Plus Zakat, h.34
[28] Khaerul Umam, Pasar Modal,
Op.Cit., h.97
[29]
https://www.yarsi.ac.id/in/web-directory/kolom-dosen/70-fakultas-ekonomi/251-mod
al-syariah.html
No comments:
Post a Comment