Thursday, February 15, 2018

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT


MAKALAH
SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Umum




Disusun Oleh:
1.      Adinda Chelsea Rahayu (1704100195)
2.      Nurida Safriyani (1704100266)
3.      Syafe’i (1704100251)




Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Jurusan S-1 Perbankan Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 1438 H / 2017 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah filsafat merupakan salah satu metode yang terkenal dan banyak digunakan orang dalam mempelajari filsafat; bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam belajar berfilsafat. Meskipun dapat dianggap sebagai bahan pengetahuan tersendiri, sejarah filsafat yang disajikan pada dasarnya merupakan “alat” untuk mengenal filsafat pada umumnya.
Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedangkan Objek materinya adalah semua yang ada. Karena filsafat bukanlah suatu disiplin ilmu maka sesuai dengan definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat tidak akan pernah habis untuk dibahas. Dalam perkembangannya, filsafat berkembang melalui beberapa zaman yaitu diawali dari Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana sejarah munculnya filsafat pada Zaman Yunani Kuno, Zaman Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer?”.
C.    Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami sejarah munculnya filsafat pada Zaman Yunani Kuno, Zaman Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Zaman Yunani Kuno (600 SM-600 M)
Kelahiran pemikiran filsafat ditandai oleh runtuhnya mite-mite dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia pada waktu melalui mite-mite mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta dan tentang kejadian yang berlangsung di dalamnya. Ada dua bentuk mite yang berkembang pada waktu itu, yaitu mite kosmogonis, yang mencari tentang asal usul alam semesta, dan mite kosmologis, berusaha mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian alam semesta.[1]
Diprakirakan filsafat yunani ini merupakan perkembangan dari mitologi dan sastra, cerita rakyat, drama-drama yang hidup subur di masyarakat. Setelah tokoh-tokoh pemikir dalam lingkungan “istana” atau pemangku adat membenahinya, jadilah cerita-cerita itu pendorong pemikiran-pemikiran baru yang lebih teratur. Dorongan tersebut didasari keinginan untuk memahami masalah, tidak sekadar mengikuti kehendak alam, tetapi pemikiran yang rasional.[2] Berikut ini penjelasan perkembangan pemikiran filsafat yunani kuno:
1.      Masa Awal Filsafat Yunani Kuno
Ciri yang menonjol dari filsafat yunani kuno di awal kelahirannya adalah ditunjukkannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu asal-mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya segala gejala.[3] Karena itu nama untuk masa awal Yunani Kuno itu sering disebut sebagai Filsafat Alam.[4]
Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal-mula) dari segala sesuatu, pendapatnya ini didukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda-benda di jagad raya ini. Anaximander (611-545 SM) meyakini bahwa asas-mula dari segala sesuatu adalah apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sedangkan Anaximenes (588-524 SM) mengatakan bahwa asas-mula segala sesuatu itu adalah udara, keyakinannya ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan.[5] Selanjutnya Herakleitos (540-475 SM) berpendapat bahwa asas itu adalah api. Menurutnya, api melambangkan perubahan, karena tidak ada suatu apa pun di dunia ini yang tetap, definitif dan sempurna, tetapi berubah. Sedangkan Pythagoras berbeda dengan filosof sezamannya, ia mengatakan bahwa asas segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan.[6]
Parmenides (540-475) mengemukakan bahwa realitas itu tetap, tidak berubah. Arti penting parmenides adalah gagasannya tentang “ada”, ia merupakan filsuf pertama yang mempraktekkan cabang filsafat yang dikenal dengan “metafisika”. Pernyataan yang berkaitan dengan metafisika yaitu: “yang-ada itu ada, dan yang-tidak-ada itu tidak ada”. Artinya pluralitas itu tidak ada. Demokritos (469-370 SM) membangun dan mengajukan teori yang dikenal dengan istilah atomisme. Demokritos berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom-atom, a tomos). Pandangan Demokritos ini merupakan cikal-bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.[7]
2.      Zaman Keemasan Yunani Kuno
Filsafat pada masa ini ditandai oleh sejumlah nama besar yang sampai sekarang tidak pernah dilupakan oleh kalangan pemikir, termasuk pemikir masa kini, sekalipun berbeda pendapat. Nama besar pertama adalah Protagoras, pemahamannya memperlihatkan sifat-sifat relativisme; bahwa kebenaran bersifat relatif. Tidak ada kebenaran yang tetap dan definitif. Benar, baik, dan bagus, selalu dalam hubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai kebenaran yang mutlak.[8] Selain Protagoras, terdapat beberapa tokoh lain di zaman keemasan yunani kuno, diantaranya:
a.       Socrates (470-399 SM). Socrates mengembangkan pemikiran filosofis seperti seorang bidan yang tidak melahirkan anaknya sendiri, tetapi anak orang lain. Metode belajar yang terkenal dilakukannya adalah bertanya sampai dapat menemukan sendiri apa yang baik dan benar dalam dirinya sendiri. Pada masa modern metode ini dikenal dengan nama “Metode Sokrates”, yaitu sebagai suatu jenis metode dalam pendidikan. Dalam metode tersebut, seorang pendidik tidak menguliahi siswanya dengan sejumlah informasi, tetapi bertanya secara tajam dan kritis sampai siswa tersebut menemukan jawaban dan pengetahuan yang dibutuhkannya.[9]
b.      Plato (427-347 SM). Hampir semua karya-karyanya diabadikan dalam bentuk dialog. Inti pemikiran Plato adalah konsep ide, Plato menyatakan bahwa pengetahuan yang sebenarnya berada di alam ide yang merupakan realitas sejati, sehingga pengetahuan intelektual pada hakikatnya adalah persepsi akal terhadap objek-objek yang terpisah.[10]
c.       Aristoteles (384-322 SM). Ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan ialah “yang empiris”. Aristoteles berpandangan bahwa objek sejati akal pikiran ada di dalam bentuk-bentuk yang dapat terindera dan terintelektualisasi melalui abstraksi.[11]
3.      Masa Helenitas dan Romawi
Masa helenitas dan romawi tidak dapat lepas dari peranan Raja Alexander Agung, ia telah mampu mendirikan negara besar. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional dan disebut kebudayaan helenitas. Ada sejumlah aliran pada masa ini, diantaranya:
a.       Stoisisme, didirikan oleh Zeno sekitar tahun 300 SM. Menurut stoisisme, jagat raya dari dalam ditentukan “logos” yang berarti ratio. Dengan demikian, kejadian alam telah ditentukan dan tidak dapat dielakkan. Jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga sanggup mengenal alam raya.
b.      Epikurisme, dibangun oleh Epikuros (341-270SM). Menurut aliran ini, segala hal terdiri dari atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan bertabrakan.
c.       Skeptisisme, dipelopori oleh Pyrrho (365-275 SM). Ajarannya lebih tampak sebagai sikap umum masyarakat luas yang meyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai pada kebenaran yang mutlak.
d.      Eklektisme, tokoh aliran ini adalah Cicero (106-43 SM). Aliran ini lebih merupakan kecenderungan masyarakat luas untuk memetik berbagai unsur filsafat dari berbagai aliran dalam menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak sampai pada kesatuan pemikiran.
e.       Neoplatonisme, yaitu menghidupkan kembali filsafat plato, tokohnya dalah Plotinos (203/4-269/70). Sistem filsafat ini adalah kesatuan yang disebut Allah, atau “Yang Satu” (to Hen). Artinya, semua berasal dan kembali pada “Yang Satu” itu, sehingga menimbulkan gerakan pemikiran dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.[12]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pada tahap permulaan akal mulai mendominasi, tetapi iman masih kelihatan memainkan perannya. Pada zaman selanjutnya akal dapat dikatakan menang mutlak, dan pada akhirnya iman kembali mendominasi.
B.     Zaman Pertengahan (600 M-1500 M)
Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu erat, bahkan berada di bawah naungan agama. Abad pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama.
1.      Zaman Patristik
Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan kehidupan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen.[13] Pandangan pemikir agama pun terbagi tiga dalam menanggapi filsafat ini. Pertama, pandangan bahwa setelah ada wahyu ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus, seharusnya tidak ada lagi pemikiran filosofis. Dengan demikian, pemikiran filosofis tidak diakui. Kedua, pandangan yang berusaha menengahinya dengan menyintesiskan kedua pemikiran tersebut. Ketiga, pandangan yang justru menyatakan bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica), jadi harus diterima dan dikembangkan.[14]
            Pada abad ke-4, Zaman Keemasan Patriastik Latin terjadi. Nama besar dari jajaran Bapak Gereja Barat adalah Augustinus (354-430 SM) merupakan pemikir terbesar pada Zaman Patrialistik. Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebenaran abadi yang disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, ia bukan keadaan yang pasif melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih. Secara demikian manusia melalui penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut ambil bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah sebagai ada, yang bersifat pribadi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jalan emanasio yang niscaya terjadi.[15]
2.      Zaman Skolastik
Tidak banyak pemikiran filsafati yang patut ditemukan pada masa ini, namun ada beberapa tokoh dan situasi penting yang harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa ini, yaitu:
Pertama, ahli pikir Boethius (480-524 M) dianggap sebagai filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkan logika Aristoteles ke dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Kedua, Kaisar Karel Agung yang memerintah pada awal abad ke-9 dan berhasil mencapai stabilitas politik yang besar menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat, serta membangun lembaga pendidikan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran abad pertengahan berada dalam naungan teologi.
Ketiga, terdapat beberapa nama penting lain, seperti Eriugena, Anselmus, dan Abelardus. Eriugena (819-887 M) berjasa dalam menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi referensi bagi dunia pemikiran abad-abad selanjutnya. Ia membangun sintesis teologis. Anselmus (1033-1109 M) ia meluruskan perkataan Agustinus dengan mengatakan, “Saya percaya supaya saya mengerti”. Ia terkenal terutama karena argumentasinya, bahwa Allah itu benar-benar ada. Abelardus (1079-1142 M) berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah menyelesaikan masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep umum yang menentukan kodrat dan kedudukan konsep-konsep tersebut.[16]
Zaman keemasan skolastik terjadi pada abad ke-13. Sama dengan Abad Pertengahan, pada zaman ini filsafat dipelajari dalam hubungannya dengan teologi. Namun hal ini tidak berarti wacana filsafat hilang. Filsafat tetap dipelajari meskipun tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini dibangun sintesis filosofis penting dan berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
a.       Didirikannya universitas-universitas pada tahun 1200
b.      Beberapa ordo membiara yang baru dibentuk
c.       Ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat yang sebelumnya tidak dikenal.[17]
Tokoh filsafat lain yang terkenal pada zaman pertengahan adalah Thomas Aquinas (1125-1274 M) yang menggunakan pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam berfilsafat. Ia membuang hal-hal yang tidak pantas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal baru, sehingga melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomisme dikenal dengan presikat “Ancilla Theologiae”. Thomas dalam hal terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan, artinya Tuhan menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia (keburukan). Selanjutnya menurut Thomas mencipta berarti secara terus menerus menghasilkan serta memelihara ciptaan.[18]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada zaman pertengahan filsafat lebih menjurus membahas tentang keagamaan.
C.    Zaman Pencerahan / Renaisans (1400-1600 M)
Peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan “renaissans”. Meskipun singkat, sekitar satu sampai dua abad saja (1500 M – 1700 M), namun apa yang terjadi dalam masa itu penting untuk direnungkan.[19] Dalam bahasa latin, re + nasci berarti lahir kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarahwan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang abad ke-15 dan ke-16.[20]
Menurut Jules Michelet, sejarahwan Prancis, Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia. Dialah yang menyatakan bahwa Renaissance ialah periode perkembangan peradaban sebelum muncul Abad Modern. Perkembangan itu terutama sekali dalam bidang seni lukis dan sastra. Akan tetapi, di antara perkembangan itu terjadi juga perkembangan dalam bidang filsafat. Renaissance telah menyebabkan manusia mengenali kembali dirinya, menemukan dunianya. Akibat dari sini ialah munculnya penelitian-penelitian empiris yang lebih giat.[21]
Berkembangnya penelitian empiris merupakan salah satu ciri Renaissance. Humanisme dan Individualisme merupakan ciri Renaissance yang penting. Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang-orang yang beragama. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (Zaman Modern).[22]
Dikarenakan zaman pencerahan ini kedudukannya yang terjepit antara Abad Pertengahan dan Abad Modern, maka Abad Pencerahan tidak dibahas seecara lebih mendalam. Meskipun demikian, pemikiran Abad Pencerahan perlu dicantumkan karena dipandang penting bagi kelahiran Abad Modern yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Zaman pencerahan merupakan masa berakhirnya abad pertengahan dan masa berawalnya zaman modern.
D.    Zaman Modern (1700-1900 M)
Pendiri filsafat modern adalah Michel de Montaigne (1533-1592 M), ia merupakan moralis. Dalam ilmu pengetahuan, pendapat Montaigne tersimpul dalam perumusan bahwa idea manusia berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, juga menurut zamannya. Para filosof modern tampak lebih individualistis dengan menampilkan individualitasnya masing-masing. Oleh karena itu, untuk mempermudah dalam mengenal dan mempelajarinya, filsafat modern dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1.      Rasionalisme, Empirisme dan Kritisme
Rasionalisme (Descartes, Wolf, dan Leibnitz). Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal.[23]
Empirisme (Jhon Locke, Berkely, dan Hume). Pemikir empiris berpendapat bahwa dasar pengetahuan itu berasal dari rangsangan-rangsangan yang berdasar pada pengalaman. Atau dengan kata lain, suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peranan akal.[24]
Kritisme. Menurut Kant, ilmu pegetahuan harus memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ia juga menyatakan ilmu pengetahuan harus maju dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang. Ia membagi ilmu pengetahuan berdasarkan dua hal, yaitu bahan yang didapat dari luar, hal itu sendiri (das Ding an sich), dan pengolahan sintesis dari diri sendiri (das Ding fuer mich).[25]
2.      Dialektika idealisme dan dialektika materialisme
Dialektika idealisme merupakan hasil pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Ia menyatakan bahwa segenap relaitas bersifat rasional dan yang rasional bersifat nyata. Idealisme adalah aliran yang mempunyai pandangan bahwa tidak ada realitas obyektif dari dirinya sendiri. Realitas seluruhnya, menurut aliran ini, bersifat subyektif. Seluruh realitas merupakan hasil aktivitas Subyek Absolut (Allah). Jadi, menurut idealisme rasio atau roh (idea) mengendalikan realitas seluruhnya. Menurut matrealisme seluruh kenyataan sejati adalah materi sehingga apapun dapat diterangkan dalam proses material. Karl Marx (1818-1883) berpendapat bahwa segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan hasil dari materi. Hal itu berarti bahwa bukan roh yang mendahului, melainkan materi.[26]
3.      Fenomenologi dan eksistensialisme
Filsafat fenomenologi lahir dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1936). Sebagai suatu metode, husserl mengatakan bahwa yang dapat kita amati hanyalah fenomena atau gejala tentang sesuatu, bukan neumenon atau sumber gejala itu sendiri.[27]
Eksistensialisme merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal yang berpangkal pada eksistensinya. Artinya eksistensialisme merupakan cara manusia berada, atau lebih tepat mengada, di dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu hanyalah manusia. Manusia sadar akan dirinya sendiri, ia berdiri sebagai aku atau pribadi.[28]
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa abad modern dapat disebut sebagai abad ilmiah, yaitu suatu priode di mana nalar, logika, dan eksperimentasi digunakan untuk memahami setiap gejala di dalam kehidupan. Pada abad ini, apa yang disebut kebenaran adalah kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran yang ditemukan manusia sebagai kesimpulan rasional yang divalidasi oleh eksperimentasi.
E.     Pasca Modernisme / Kontemporer (Abad ke-20 dan Seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus –sebagaimana yang diperbuat para filsuf sebelumnya- melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman bahasa logika.[29]
Filsafat pada masa ini memiliki ciri khas yaitu mengkritik filsafat modern. Tokoh-tokoh besar filsafat pascamodern cukup banyak, yaitu seluruh filsafat dekonstruksi salah satu diantaranya adalah Wittgenstein.[30] Wittgenstein melangkah lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa sebagai sikap atau keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Menurut Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran-pemikiran. Filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah karya filsafat pada hakikatnya terdiri atas penjelasan(elucidations). [31]
Hal yang paling penting dalam filsafat pasca modern adalah filsafat pascamodern tidak puas terhadap Rasionalisme, karena itu Rasionalisme harus didekosntruksi, dan harus direkonstruksi filsafat baru. Hasil rekonstruksi belum ada yang sungguh-sungguh penting dan mendasar, karena para filosof dekonstruksi baru hampir selesai membicarakan cara merekonstruksi filsafat baru.[32]
Berdasarkan penjelasan di diatas dapat diketahui bahwa pada zaman pasca modernisme/kontemporer, para filosof lebih banyak mengkritik dan mengkaji kembali pemikiran-pemikiran dari filosof-filosof terdahulu.



BAB III
KESIMPULAN
Pada zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukan nya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga pemikiran filsafat pada zaman ini disebut filsafat alam.
Pada zaman Pertengahan, pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama.
Pada zaman Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini disebut antroposentris. Filsafat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan, terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Pada zaman Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral dikursus filsafat.


DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Drajat, Amroeni. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LkiS, 2005.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Wiramirhadja, Dr. Sutardjo A. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.




[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.60
[2] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h.58
[3] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h.60
[4] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, h.59
[5] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.60-61
[6] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.59
[7] Ibid.,
[8] Ibid., h.60
[9] Ibid., h.60
[10] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta: LkiS, 2005), h.47
[11] Ibid.,
[12] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.63
[13] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h.20
[14] Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, h.64
[15] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h.68
[16] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.67
[17] Ibid., h.68
[18] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.69
[19] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.71
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.124
[21] Ibid., h.125
[22] Ibid., h.126
[23] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h.18
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.73
[25] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.74
[26] Ibid., h.74-75
[27] Ibid., h.78
[28] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.218
[29] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.89
[30] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.257
[31] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h.89
[32] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, h.265

No comments:

Post a Comment