MAKALAH
SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Filsafat Umum
Disusun Oleh:
1.
Adinda Chelsea
Rahayu (1704100195)
2.
Nurida Safriyani
(1704100266)
3.
Syafe’i
(1704100251)
Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam
Jurusan S-1
Perbankan Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 1438 H / 2017 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
filsafat merupakan salah satu metode yang terkenal dan banyak digunakan orang
dalam mempelajari filsafat; bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam
belajar berfilsafat. Meskipun dapat dianggap sebagai bahan pengetahuan
tersendiri, sejarah filsafat yang disajikan pada dasarnya merupakan “alat”
untuk mengenal filsafat pada umumnya.
Bidang
filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau
oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang
merupakan tujuan hidupnya. Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal
filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedangkan Objek materinya adalah semua
yang ada. Karena filsafat bukanlah suatu disiplin ilmu maka sesuai dengan
definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat tidak akan pernah habis untuk
dibahas. Dalam perkembangannya, filsafat berkembang melalui beberapa zaman
yaitu diawali dari Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan,
Zaman Modern dan Zaman Kontemporer.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana
sejarah munculnya filsafat pada Zaman Yunani Kuno, Zaman Zaman Pertengahan, Zaman
Pencerahan, Zaman Modern dan Zaman Kontemporer?”.
C.
Tujuan
Makalah ini
bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami sejarah munculnya filsafat
pada Zaman Yunani Kuno, Zaman Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan, Zaman Modern
dan Zaman Kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zaman Yunani Kuno (600 SM-600 M)
Kelahiran pemikiran filsafat ditandai oleh runtuhnya
mite-mite dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi pembenaran terhadap
setiap gejala alam. Manusia pada waktu melalui mite-mite mencari keterangan
tentang asal-usul alam semesta dan tentang kejadian yang berlangsung di
dalamnya. Ada dua bentuk mite yang berkembang pada waktu itu, yaitu mite kosmogonis,
yang mencari tentang asal usul alam semesta, dan mite kosmologis, berusaha
mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian alam semesta.[1]
Diprakirakan filsafat yunani ini merupakan
perkembangan dari mitologi dan sastra, cerita rakyat, drama-drama yang hidup
subur di masyarakat. Setelah tokoh-tokoh pemikir dalam lingkungan “istana” atau
pemangku adat membenahinya, jadilah cerita-cerita itu pendorong
pemikiran-pemikiran baru yang lebih teratur. Dorongan tersebut didasari
keinginan untuk memahami masalah, tidak sekadar mengikuti kehendak alam, tetapi
pemikiran yang rasional.[2] Berikut
ini penjelasan perkembangan pemikiran filsafat yunani kuno:
1. Masa Awal Filsafat Yunani Kuno
Ciri yang menonjol dari filsafat yunani
kuno di awal kelahirannya adalah ditunjukkannya perhatian terutama pada
pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu
asal-mula (arche) yang merupakan
unsur awal terjadinya segala gejala.[3] Karena
itu nama untuk masa awal Yunani Kuno itu sering disebut sebagai Filsafat Alam.[4]
Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa
air merupakan arche (asal-mula) dari
segala sesuatu, pendapatnya ini didukung oleh kenyataan bahwa air meresapi
seluruh benda-benda di jagad raya ini. Anaximander (611-545 SM) meyakini bahwa
asas-mula dari segala sesuatu adalah apeiron
yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sedangkan Anaximenes (588-524 SM)
mengatakan bahwa asas-mula segala sesuatu itu adalah udara, keyakinannya ini
didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan.[5]
Selanjutnya Herakleitos (540-475 SM) berpendapat bahwa asas itu adalah api.
Menurutnya, api melambangkan perubahan, karena tidak ada suatu apa pun di dunia
ini yang tetap, definitif dan sempurna, tetapi berubah. Sedangkan Pythagoras
berbeda dengan filosof sezamannya, ia mengatakan bahwa asas segala sesuatu
dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan.[6]
Parmenides (540-475) mengemukakan bahwa
realitas itu tetap, tidak berubah. Arti penting parmenides adalah gagasannya
tentang “ada”, ia merupakan filsuf pertama yang mempraktekkan cabang filsafat
yang dikenal dengan “metafisika”. Pernyataan yang berkaitan dengan metafisika
yaitu: “yang-ada itu ada, dan yang-tidak-ada itu tidak ada”. Artinya pluralitas
itu tidak ada. Demokritos (469-370 SM) membangun dan mengajukan teori yang
dikenal dengan istilah atomisme.
Demokritos berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian
kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom-atom, a tomos). Pandangan Demokritos ini merupakan cikal-bakal
perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.[7]
2. Zaman Keemasan Yunani Kuno
Filsafat pada masa ini ditandai oleh
sejumlah nama besar yang sampai sekarang tidak pernah dilupakan oleh kalangan
pemikir, termasuk pemikir masa kini, sekalipun berbeda pendapat. Nama besar
pertama adalah Protagoras, pemahamannya memperlihatkan sifat-sifat relativisme;
bahwa kebenaran bersifat relatif. Tidak ada kebenaran yang tetap dan definitif.
Benar, baik, dan bagus, selalu dalam hubungan dengan manusia, tidak mandiri
sebagai kebenaran yang mutlak.[8] Selain
Protagoras, terdapat beberapa tokoh lain di zaman keemasan yunani kuno, diantaranya:
a.
Socrates
(470-399 SM). Socrates mengembangkan pemikiran filosofis seperti seorang bidan
yang tidak melahirkan anaknya sendiri, tetapi anak orang lain. Metode belajar
yang terkenal dilakukannya adalah bertanya sampai dapat menemukan sendiri apa
yang baik dan benar dalam dirinya sendiri. Pada masa modern metode ini dikenal
dengan nama “Metode Sokrates”, yaitu sebagai suatu jenis metode dalam
pendidikan. Dalam metode tersebut, seorang pendidik tidak menguliahi siswanya
dengan sejumlah informasi, tetapi bertanya secara tajam dan kritis sampai siswa
tersebut menemukan jawaban dan pengetahuan yang dibutuhkannya.[9]
b.
Plato (427-347
SM). Hampir semua karya-karyanya diabadikan dalam bentuk dialog. Inti pemikiran
Plato adalah konsep ide, Plato menyatakan bahwa pengetahuan yang sebenarnya
berada di alam ide yang merupakan realitas sejati, sehingga pengetahuan
intelektual pada hakikatnya adalah persepsi akal terhadap objek-objek yang
terpisah.[10]
c.
Aristoteles
(384-322 SM). Ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan ialah “yang empiris”.
Aristoteles berpandangan bahwa objek sejati akal pikiran ada di dalam
bentuk-bentuk yang dapat terindera dan terintelektualisasi melalui abstraksi.[11]
3.
Masa Helenitas
dan Romawi
Masa helenitas dan
romawi tidak dapat lepas dari peranan Raja Alexander Agung, ia telah mampu
mendirikan negara besar. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan supranasional dan
disebut kebudayaan helenitas. Ada sejumlah aliran pada masa ini, diantaranya:
a.
Stoisisme,
didirikan oleh Zeno sekitar tahun 300 SM. Menurut stoisisme, jagat raya dari
dalam ditentukan “logos” yang berarti ratio. Dengan demikian, kejadian alam
telah ditentukan dan tidak dapat dielakkan. Jiwa manusia merupakan bagian dari
logos sehingga sanggup mengenal alam raya.
b.
Epikurisme,
dibangun oleh Epikuros (341-270SM). Menurut aliran ini, segala hal terdiri dari
atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan bertabrakan.
c.
Skeptisisme,
dipelopori oleh Pyrrho (365-275 SM). Ajarannya lebih tampak sebagai sikap umum
masyarakat luas yang meyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai pada
kebenaran yang mutlak.
d.
Eklektisme,
tokoh aliran ini adalah Cicero (106-43 SM). Aliran ini lebih merupakan
kecenderungan masyarakat luas untuk memetik berbagai unsur filsafat dari
berbagai aliran dalam menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak sampai pada
kesatuan pemikiran.
e.
Neoplatonisme,
yaitu menghidupkan kembali filsafat plato, tokohnya dalah Plotinos
(203/4-269/70). Sistem filsafat ini adalah kesatuan yang disebut Allah, atau
“Yang Satu” (to Hen). Artinya, semua
berasal dan kembali pada “Yang Satu” itu, sehingga menimbulkan gerakan
pemikiran dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.[12]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat
diketahui bahwa pada tahap permulaan akal mulai mendominasi, tetapi iman masih
kelihatan memainkan perannya. Pada zaman selanjutnya akal dapat dikatakan
menang mutlak, dan pada akhirnya iman kembali mendominasi.
B.
Zaman Pertengahan (600 M-1500 M)
Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana
filsafat begitu erat, bahkan berada di bawah naungan agama. Abad pertengahan
selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama.
1. Zaman Patristik
Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan kehidupan gereja. Bapak
yang mengacu pada pujangga kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani,
melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen.[13]
Pandangan pemikir agama pun terbagi tiga dalam menanggapi filsafat ini. Pertama, pandangan bahwa setelah ada
wahyu ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus, seharusnya tidak ada lagi pemikiran
filosofis. Dengan demikian, pemikiran filosofis tidak diakui. Kedua, pandangan yang berusaha
menengahinya dengan menyintesiskan kedua pemikiran tersebut. Ketiga, pandangan yang justru menyatakan
bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica), jadi harus diterima dan dikembangkan.[14]
Pada
abad ke-4, Zaman Keemasan Patriastik Latin terjadi. Nama besar dari jajaran
Bapak Gereja Barat adalah Augustinus (354-430 SM) merupakan pemikir terbesar pada
Zaman Patrialistik. Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebenaran abadi
yang disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia
mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, yang
mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian
dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, ia bukan
keadaan yang pasif melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan
yang penuh kasih. Secara demikian manusia melalui penciptaan dapat mendaki
sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan tuhan. Dalam arti tertentu keadaan
ikut ambil bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui
dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus berpikir dan mengasihi
berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah sebagai ada, yang
bersifat pribadi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagad raya secara
bebas, dan tidak dengan jalan emanasio yang niscaya terjadi.[15]
2. Zaman Skolastik
Tidak banyak pemikiran filsafati yang
patut ditemukan pada masa ini, namun ada beberapa tokoh dan situasi penting
yang harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa ini, yaitu:
Pertama, ahli pikir Boethius (480-524 M) dianggap sebagai
filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkan logika Aristoteles ke
dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Kedua, Kaisar Karel Agung yang memerintah pada awal abad
ke-9 dan berhasil mencapai stabilitas politik yang besar menyebabkan
perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat, serta membangun lembaga
pendidikan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran abad pertengahan berada dalam
naungan teologi.
Ketiga, terdapat beberapa nama penting lain, seperti
Eriugena, Anselmus, dan Abelardus. Eriugena (819-887 M) berjasa dalam
menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi
referensi bagi dunia pemikiran abad-abad selanjutnya. Ia membangun sintesis
teologis. Anselmus (1033-1109 M) ia meluruskan perkataan Agustinus dengan
mengatakan, “Saya percaya supaya saya mengerti”. Ia terkenal terutama karena
argumentasinya, bahwa Allah itu benar-benar ada. Abelardus (1079-1142 M)
berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah menyelesaikan masalah
“universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep umum yang menentukan kodrat
dan kedudukan konsep-konsep tersebut.[16]
Zaman keemasan skolastik terjadi pada
abad ke-13. Sama dengan Abad Pertengahan, pada zaman ini filsafat dipelajari
dalam hubungannya dengan teologi. Namun hal ini tidak berarti wacana filsafat
hilang. Filsafat tetap dipelajari meskipun tidak secara terbuka dan mandiri.
Pada abad ini dibangun sintesis filosofis penting dan berkaitan dengan tiga
hal, yaitu:
a.
Didirikannya
universitas-universitas pada tahun 1200
b.
Beberapa ordo
membiara yang baru dibentuk
c.
Ditemukan dan
digunakannya sejumlah karya filsafat yang sebelumnya tidak dikenal.[17]
Tokoh filsafat lain yang terkenal pada
zaman pertengahan adalah Thomas Aquinas (1125-1274 M) yang menggunakan
pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam berfilsafat. Ia membuang
hal-hal yang tidak pantas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal baru,
sehingga melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomisme dikenal dengan presikat
“Ancilla Theologiae”. Thomas dalam hal terjadinya alam semesta menganut teori
penciptaan, artinya Tuhan menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta,
tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada
awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia
(keburukan). Selanjutnya menurut Thomas mencipta berarti secara terus menerus
menghasilkan serta memelihara ciptaan.[18]
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada zaman pertengahan filsafat lebih
menjurus membahas tentang keagamaan.
C.
Zaman Pencerahan / Renaisans (1400-1600 M)
Peralihan dari
zaman pertengahan ke zaman modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan
“renaissans”. Meskipun singkat, sekitar satu sampai dua abad saja
(1500 M – 1700 M), namun apa yang terjadi dalam masa itu penting untuk
direnungkan.[19]
Dalam bahasa latin, re + nasci berarti lahir kembali (rebirth). Istilah ini
biasanya digunakan oleh sejarahwan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia,
sepanjang abad ke-15 dan ke-16.[20]
Menurut Jules Michelet, sejarahwan Prancis,
Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia. Dialah yang menyatakan
bahwa Renaissance ialah periode perkembangan peradaban sebelum muncul Abad
Modern. Perkembangan itu terutama sekali dalam bidang seni lukis dan sastra.
Akan tetapi, di antara perkembangan itu terjadi juga perkembangan dalam bidang
filsafat. Renaissance telah menyebabkan manusia mengenali kembali dirinya,
menemukan dunianya. Akibat dari sini ialah munculnya penelitian-penelitian
empiris yang lebih giat.[21]
Berkembangnya penelitian empiris merupakan salah
satu ciri Renaissance. Humanisme dan Individualisme merupakan ciri Renaissance
yang penting. Humanisme ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan
dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang-orang yang beragama.
Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada
zaman sesudahnya (Zaman Modern).[22]
Dikarenakan zaman pencerahan ini
kedudukannya yang terjepit antara Abad Pertengahan dan Abad Modern, maka Abad
Pencerahan tidak dibahas seecara lebih mendalam. Meskipun demikian, pemikiran
Abad Pencerahan perlu dicantumkan karena dipandang penting bagi kelahiran Abad
Modern yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Zaman pencerahan merupakan
masa berakhirnya abad pertengahan dan masa berawalnya zaman modern.
D.
Zaman Modern (1700-1900 M)
Pendiri filsafat
modern adalah Michel de Montaigne (1533-1592 M), ia merupakan moralis. Dalam
ilmu pengetahuan, pendapat Montaigne tersimpul dalam perumusan bahwa idea
manusia berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, juga menurut zamannya.
Para filosof modern tampak lebih individualistis dengan menampilkan
individualitasnya masing-masing. Oleh karena itu, untuk mempermudah dalam
mengenal dan mempelajarinya, filsafat modern dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
1.
Rasionalisme,
Empirisme dan Kritisme
Rasionalisme (Descartes,
Wolf, dan Leibnitz). Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan
yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan
yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua
pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang
telah didapatkan oleh akal.[23]
Empirisme (Jhon Locke, Berkely, dan Hume).
Pemikir empiris berpendapat bahwa dasar pengetahuan itu berasal dari
rangsangan-rangsangan yang berdasar pada pengalaman. Atau dengan kata lain,
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peranan akal.[24]
Kritisme.
Menurut Kant, ilmu pegetahuan harus memiliki kepastian sehingga rasionalisme
adalah benar. Ia juga menyatakan ilmu pengetahuan harus maju dan berkembang
didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang. Ia membagi ilmu pengetahuan
berdasarkan dua hal, yaitu bahan yang didapat dari luar, hal itu sendiri (das Ding an sich), dan pengolahan
sintesis dari diri sendiri (das Ding fuer
mich).[25]
2.
Dialektika
idealisme dan dialektika materialisme
Dialektika
idealisme merupakan hasil pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Ia
menyatakan bahwa segenap relaitas bersifat rasional dan yang rasional bersifat
nyata. Idealisme adalah aliran yang mempunyai pandangan bahwa tidak ada
realitas obyektif dari dirinya sendiri. Realitas seluruhnya, menurut aliran
ini, bersifat subyektif. Seluruh realitas merupakan hasil aktivitas Subyek
Absolut (Allah). Jadi, menurut idealisme rasio atau roh (idea) mengendalikan
realitas seluruhnya. Menurut matrealisme seluruh kenyataan sejati adalah materi
sehingga apapun dapat diterangkan dalam proses material. Karl Marx (1818-1883)
berpendapat bahwa segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan hasil dari
materi. Hal itu berarti bahwa bukan roh yang mendahului, melainkan materi.[26]
3.
Fenomenologi dan
eksistensialisme
Filsafat
fenomenologi lahir dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1936). Sebagai suatu
metode, husserl mengatakan bahwa yang dapat kita amati hanyalah fenomena atau
gejala tentang sesuatu, bukan neumenon atau sumber gejala itu sendiri.[27]
Eksistensialisme
merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard. Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala hal yang berpangkal pada eksistensinya. Artinya
eksistensialisme merupakan cara manusia berada, atau lebih tepat mengada, di
dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu hanyalah manusia. Manusia sadar
akan dirinya sendiri, ia berdiri sebagai aku atau pribadi.[28]
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa
abad modern dapat disebut sebagai abad ilmiah, yaitu suatu priode di mana nalar, logika, dan
eksperimentasi digunakan untuk memahami setiap gejala di dalam kehidupan. Pada
abad ini, apa yang disebut kebenaran adalah kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran
yang ditemukan manusia sebagai kesimpulan rasional yang divalidasi oleh
eksperimentasi.
E.
Pasca Modernisme / Kontemporer (Abad ke-20 dan
Seterusnya)
Tema
yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang
bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa. Tugas
filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus –sebagaimana
yang diperbuat para filsuf sebelumnya- melainkan memecahkan persoalan yang
timbul akibat ketidakpahaman bahasa logika.[29]
Filsafat
pada masa ini memiliki ciri khas yaitu mengkritik filsafat modern. Tokoh-tokoh
besar filsafat pascamodern cukup banyak, yaitu seluruh filsafat dekonstruksi
salah satu diantaranya adalah Wittgenstein.[30] Wittgenstein
melangkah lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa sebagai sikap atau
keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat.
Menurut Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan
melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan
itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap
pemikiran-pemikiran. Filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah
karya filsafat pada hakikatnya terdiri atas penjelasan(elucidations). [31]
Hal yang paling penting
dalam filsafat pasca modern adalah filsafat pascamodern tidak puas terhadap
Rasionalisme, karena itu Rasionalisme harus didekosntruksi, dan harus
direkonstruksi filsafat baru. Hasil rekonstruksi belum ada yang sungguh-sungguh
penting dan mendasar, karena para filosof dekonstruksi baru hampir selesai
membicarakan cara merekonstruksi filsafat baru.[32]
Berdasarkan penjelasan
di diatas dapat diketahui bahwa pada zaman pasca modernisme/kontemporer, para
filosof lebih banyak mengkritik dan mengkaji kembali pemikiran-pemikiran dari
filosof-filosof terdahulu.
BAB III
KESIMPULAN
Pada
zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah
ditujukan nya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur
awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal
usul alam semesta dan jagad raya, sehingga pemikiran filsafat pada zaman ini disebut
filsafat alam.
Pada
zaman Pertengahan, pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para
filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma
agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada
abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan
dengan ajaran agama.
Pada zaman Modern,
para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis
filsafat, maka corak filsafat zaman ini disebut antroposentris. Filsafat
modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad
Pertengahan, terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan.
Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja
dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak
pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Pada zaman Kontemporer dengan ciri
pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral dikursus
filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,
Kees. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Drajat, Amroeni.
Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta:
LkiS, 2005.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Mustansyir,
Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Wiramirhadja,
Dr. Sutardjo A. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h.60
[2] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2009), h.58
[3] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, h.60
[4] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, h.59
[5] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.60-61
[6] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.59
[7] Ibid.,
[8] Ibid., h.60
[9] Ibid., h.60
[10] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta:
LkiS, 2005), h.47
[11] Ibid.,
[12] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.63
[13] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), h.20
[14] Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, h.64
[15] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, h.68
[16] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.67
[17] Ibid., h.68
[18] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.69
[19] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.71
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), h.124
[21] Ibid., h.125
[22] Ibid., h.126
[23] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), h.18
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.73
[25] Dr. Sutardjo A. Wiramirhadja, Pengantar Filsafat, Op.Cit., h.74
[26] Ibid., h.74-75
[27] Ibid., h.78
[28] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.218
[29] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, Op.Cit., h.89
[30] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Op.Cit., h.257
[31] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, h.89
[32] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, h.265
No comments:
Post a Comment